Assalamu'alaikum . . Wr. Wb. . Selamat Datang Di Ma’had Al-Furqon Muhammadiyah Cibiuk-Garut_Mohon Maaf Apabila Terdapat Kesalahan Wassalam . .

Urgensi Mempelajari Ulumul Qur’an

Posted by Ayub Cibiuk 08.24, under | No comments


          Urgensi Mempelajari Ulumul Qur’an

Urgensi Mempelajari Ulumul Qur’an
Tanpa mempelajari Uluumul Qur-an sebenarnya seseorang akan kesulitan memahami makna yang terkandung dalam Al Qur-an, bahkan bisa jadi malah tersesatkan. Apalagi ada 2 jenis ayat yaitu ayat-ayat muhkamaat dan mutsayabihaat. Sejak masa nabi Muhammad pun, terkadang sahabat memerlukan penjelasan nabi apa yang dimaksud dalam ayat-ayat tertentu. Sehingga muslimin yang hidup jauh sepeninggal Nabi S.a.w, terutama bagi yang ingin memahami kandungan Al Qur-an dituntut untuk mempelajari ilmu tersebut.
Adapun manfaat mempelajari Ulumul Qur’an antara lain adalah:
- Mampu menguasai berbagai ilmu pendukung dalam rangka memahami makna yang terkandung dalam al-Qur`an.
- Membekali diri dengan persenjataan ilmu pengetahuan yang lengkap, dalam rangka membela al-Qur`an dari berbagai tuduhan dan fitnah yang muncul dari pihak lain.


Seorang penafsir (mufassir) akan lebih mudah dalam mengartikan al-Qur`an dan mengimplementasikannya dalam kehiB. Manifestasi Iman dalam Bidang Kekhalifahan

Dalam suatu penggalan Al-Qur'an yang sangat dramatis dan mengesankan,
tuhan mengatakan kepada kita bahwa dia telah menawarkan amanat-Nya
kepada langit dan bumi, tetapi mereka tidak berani menerimanya; bahwa
hanya manusialah yang mau menerimanya.

Seorang pemikir Pakistan Muhammad Iqbal pernah mengatakan bahwa
manusia adalah patner Tuhan dalam menjaga stabilitas alam semesta.
Dari itulah manusia disebut sebagai khalifah fi al-ardh. Tentunya
seorang yang memiliki keimanan akan bertanggung jawab penuh atas
kepercayaan yang dibebankan Tuhan kepadanya.

Manusia mewarisi sifat-sifat Tuhan, dan dengannya manusia memiliki
potensi untuk menjadi al-insanu al-kamil (manusia sempurna) atau dalam
bahasa Iqbal dibahasakan dengan Insan Cita.

Namun lain halnya dengan orang yang beriman. Orang yang tidak memiliki
rasa keimanan serta tidak mengerti akan eksistensi sebagai manusia,
dia akan membuat kerusakan dan mengadakan pertumpahan darah di muka
bumi sebagai mana yang ditakutkan oleh malaikat yang diabadikan Allah
dalam Al-Qur'an "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui."

Murtadlha Mutahari memberikan pernyataan bahwasanya ada tiga potensi
pada manusia. Yaitu manusia sebagai Basyar, Banu Adam, dan sebagai
Insan. Potensi manusia sebagai basyar adalah sebagai makhluq biologis
yang tidak jauh berbeda dengan binatang. Hanya saja basyar adalah
hayawanu nathiq (hewan yang berbicara). Dengan potensi ini manusia
masih jauh dari kesempurnaan sebagai manusia.

Potensi manusia sebagai Banu Adam adalah manusia sebagai makhluq
biologis yang memiliki akal untuk berfikir merumuskan
perkembangan-perkembangan yang sesuai untuk diterapkan pada kehidupan
mengikuti pergeseran zaman. Pada potensi ini manusia hampir mendapati
ekstensinya, namun belum layak untuk dikategorikan sebagai al-insan
al-kamil.

Potensi yang ketiga adalah potensi manusia sebagai insan. Pada potensi
inilah manusia dapat dikategorikan sebagai manusia sempurna. Yaitu
manusia memiliki tiga potensi sebagi makhluq biologis yang memiliki
akal fikiran dan disempurnakan dengan adanya hati nurani yang
senantiasa menuntun kepada perbuatan kebajikan, merindukan kedamaian,
keselarasan, keharmonisan, serta ketertiban di muka bumi.

Dengan keterangan di atas, maka orang yang beriman akan selalu
berusaha memaksimalkan seluruh potensi yang ada. Dan dengan demikian
maka terlaksanalah tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dan
sesungguhnya manusia yang menjadikan dirinya manusialah yang akan
dibangkitkan dalam rupa manusia.


C. Manifestasi Iman dalam Bidang Keilmuan

"Knowledge with out religion is blind,
Religion with out knowledge is lame".

Allah berfirman "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat". Dengan menengok atas apa yang terjadi pada realita
kehidupan, menafsirkan kata orang yang diberi ilmu pada ayat tersebut,
maka akan ditemukan titik kebenaran. Yaitu yang terjadi pada
kehidupan. Orang akan dihormati oleh orang lain sesuai bidang ilmu
yang ia kuasai. Misalnya orang yang ahli dalam bidang teknologi
semisal komputer, maka orang akan segan dan hormat kepadanya ketika
tiba pembahasan soal komputer. Begitu juga pada bidang filsafat,
politik, bahasa, budaya, dan semua bidang keilmuan yang lain.

Banyak periwayatan hadits tentang kewajiban seorang mu'min lagi muslim
untuk menuntut ilmu. Misalnya pada hadits yang berbunyi "Uthlubu
al-'ilma mina al-mahdi ila al-lahdi" tuntutlah ilmu dari ayunan hingga
dikuburkan. Dan juga hadits yang berbunyi "Uthlubu al-'ilma walaw bi
as-siin" tuntutlah ilmu meski harus ke negeri Cina. Cukuplah kiranya
paparan di atas menjadi dalil keharusan belajar bagi orang yang
beriman. Dan tidak ada lagi secuilpun alasan untuk enggan belajar.
Terlebih kalimat pertama yang diwahyukan Allah kepada nabi Muhammad
SAW. berbunyi "IQRA'!!" Bacalah!! yang banyak ditafsirkan perintah
untuk membaca (mempelajari) apa saja, karena tidak adanya obyek bacaan
yang diperintahkan untuk dibaca pada ayat tersebut.

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa orang beriman harus
berilmu. Dalam artian keimanan harus melahirkan semangat untuk
menuntut ilmu hingga tercapai derajat yang tinggi baik di sisi Allah
maupun di mata manusia.

D. Manifestasi Iman dalam Bidang Hukum

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah,
Rasulullah SAW. bersabda: "Orang yang berzina tidaklah melakukan zina
ketika ia berzina itu dalam keadaan mu'min. Tidak ada orang yang
meminum minuman keras ketika ia meminumnya itu dalam keadaan mu'min.
dan tidaklah pencuri itu mencuri, ketika ia mencuri berada dalam
keadaan mu'min". dalam riwayat lain ada tambahan "Dan tidaklah ada
orang yang merampas suatu rampasan yang berharga di mana pandangan
manusia tertuju padanya ketika ia merampasnya ia dalam keadaan mu'min.

Hadits di atas menunjukkan betapa pengaruh keimanan seseorang terhadap
kesadaran akan hukum. Dalam hadits di atas tegas bahwa orang yang
melakukan zina, meminum minuman keras, mencuri, dan merampas benda
berharga dari orang lain adalah orang yang sedang tidak dalam keadaan
beriman. Atau dengan kata lain orang yang kehilangan keimanannya akan
bersikap egois dan memenangkan nafsunya dari pada hati nurani yang
senantiasa membawa kepada kebajikan.

Orang yang beriman akan memiliki kecenderungan dengan sifat taqwa.
Yaitu senantisa menjalankan segala yang diperintahkan oleh Allah, dan
meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Dengan demikian maka harus
terjadi pada orang yang memiliki keimanan, ia akan memiliki kesadaran
hukum, baik hukum Tuhan yang bersifat absolut, maupun hukum yang
disepakati masyarakat dalam suatu wilayah yang berupa undang-undang,
norma, atau apapun yang digunakan untuk mengatur ketertiban.

E. Manifestasi Iman dalam Bidang Ibadah dan Akhlaq

Dengan menggunakan terminologi keagamaan dan juga terminologi Semit
kuno, Islam menyatakan bahwa manusia diciptakan untuk mengabdi kepada
Tuhan. Tuhan berfirman dalam Al-Qur'an; "Dan aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku". Dalam
pengertian filosofis, ini berarti bahwa tujuan eksistensi manusia
adalah realisasi summum bonum atau perangkat lengkap nilai-nilai.
Jelas, bahwa apa yang ditegaskan di sini adalah kebertujuannya hidup
manusia. Penyangkalan terhadapnya berarti penegasan sinis
ketakberartian. Apakah makna hidup manusia adalah heroisme, kesucian
ataukah mengejar kesenangan belaka, adalah soal lain. Sesungguhnyalah,
pernyataan itu sendiri tidak bisa dikemukakan tanpa memberi jawaban
yang positif terhadap pertannyaan yang pertama, yaitu bahwa hidup ini
mempunyai makna atau kebaikan. Makna atau kebaikan tersebut, yang
merupakan tujuan semua ciptaan, menurut Islam adalah pemenuhan
kehendak Ilahi. Sementara pemenuhan tersebut terjadi dengan sendirinya
sejalan dengan keteraturan hukum alam di dalam dunia bukan-manusia,
maka ia terjadi dalam diri manusia dengan sendirinya seperti dalam
fungsi-fungsi fisiologis dan psikis; dan juga secara bebas seperti
dalam fungsi etika. Fungsi-fungsi etika merealisasikan nilai-nilai
moral dan nilai-nilai moral ini merupakan kandungan dunia tersebut
yang lebih tinggi, ketentuan-ketentuan yang lebih tinggi dari kehendak
Ilahi. Kehendak Ilahi mencakup ketentuan-ketentuan dari tatanan yang
lebih rendah, misalnya makanan, pertumbuhan, perumahan, kenyamanan,
seks, dan sebagainya; karena segala sesuatu dalam ciptaan mengambil
bagian dalam tujuan-tujuan Ilahi; dan untuk memenuhi tujuan-tujuan
tersebut dalam tatanan hirarkis yang sesuai dengannya, manusia
merealisasi kehendak Ilahi. Tetapi missinya adalah di bidang moral di
mana pemenuhan kehendak Ilahi dapat terjadi hanya dengan kemerdekaan;
yaitu, dengan kemungkinan yang nyata dari kemampuan manusia untuk
melakukan sebaliknya dari yang seharusnya dia lakukan. Dalam
pengertian inilah dia menjadi wakil Tuhan di bumi; karena hanya dia
yang dapat merealisasi nilai-nilai etika, yang merupakan nilai-nilai
yang lebih tinggi dari kehendak Ilahi, dan hanya dia yang dapat
mengemban, sebagai tujuannya, realisasi dari seluruh bidang tersebut
dalam totalitasnya. Dengan demikian dia menjadi semacam jembatan
kosmik lewat mana kehendak Ilahi, dalam totalitasnya dan terutama
unsur etikanya, dapat memasuki ruang dan waktu, dan menjadi aktual.

Tidak ada penciptaan yang sia-sia. Termasuk penciptaan manusia, jika
ia beriman maka ia akan beribadah kepada Tuhannya, dan jika ia
beribadah maka sesungguhnya ibadah itu mencegah perbuatan keji dan
munkar, maka akan terbentuklah moral (akhlaq) atau nilai-nilai yang
mulia dari padanya, dan dengan demikian ia akan menemukan
eksistensinya sebagai manusia.

F. Manifestasi Iman dalam Bidang Kekuasaan dan Kepemimpinan

Setiap orang menghendaki untuk menonjol, dikenal, serta menjadi yang
nomor satu. Dari sifat itu untuk orang yang tidak memiliki kualitas
keimanan yang baik, maka akan muncul ambisi untuk menjadi penguasa
yang terkadang tidak memperhatikan kapasitas baik keilmuan maupun
pengalaman. Akhirnya terjadilah pertarungan antara calon-calon
penguasa yang seharusnya tidak layak untuk mencalonkan diri. Terjadi
kemunafikan, pun fitnah-fitnah politik. Akhirnya terpilihlah penguasa
yang dzhalim.
Ambisi untuk menjadi penguasa adalah hal yang tabu bagi mu'min sejati.
Adapun jiwa kepemimpinan memang selalu ada, namun ambisi menjadi
penguasa tidaklah terbersit dalam benaknya. Seandainya pun jika ia
harus menjadi pemimpin, maka dia adalah pemimpin yang terpilih atas
pilihan serta keinginan rakyatnya sendiri. Dan dengan demikian seperti
pada sebuah hadits diriwayatkan bahwasanya pemimpin yang diangkat oleh
rakyat maka Allah akan memberikan kemudahan baginya.

Mu'min sejati akan membawa karakteristik kemu'minannya di mana pun ia
berada. Termasuk ketika ia menjadi seorang pemimpin, ia akan berlaku
adil, menjadi pengayom-ayom, melayani segala aspirasi dan keinginan
rakyat, serta berlaku jujur dan bijaksana.

Sifat pemimpin mu'min selalu memikirkan sebab dan akibat, semisal
dalam memberikan kebijakan atas sesuatu, ia memikirkan segala
kemungkinan yan terjadi. Selalu mendahulukan kepentingan umum dan
tidak egois. Lain halnya yang mungkin tidak memiliki karakteristik
pemimpin mu'min, pemimpin yang demikian hanya mementingkan kepentingan
pribadi atau satu golongan, dan bersikap masa bodoh dengan banyak
golongan lain yang masih tersisa yang mungkin banyak dirugikan.

G. Manifestasi Iman dalam Bidang Ekonomi

Bagi orang-orang kaya yang mungkin hartanya telah melebihi nisab,
maka ia wajib mengeluarkan sebagian dari hartanya itu untuk faqir
miskin. Lalu bagai mana dengan nasib faqir miskin?

Dalam syari'at Islam, kemiskinan mengakibatkan tidak dapat
dipenuhinya kelima rukun Islam secara lengkap, yaitu zakat dan pergi
haji. Hal ini karena pelaksanaan dua rukun Islam tersebut diharuskan
memiliki kecukupan secara ekonomi. Dalam kaidah fikh dinyatakan "ma la
yatimu al-wajib illa bihi fahua wajibun" sesuatu yang apa bila tanpa
sesuatu itu menyebabkan tidak sempurnanya suatu kewajiban, maka
sesuatu itu menjadi wajib. Jadi dalam Islam sendiri secara tidak
langsung mewajibkan umat muslim untuk berusaha mencapai kecukupan
ekonomi sehingga dapat tercapai kesempurnaan dalam menjalankan rukun
Islam.

Orang yang beriman senantiasa mensyukuri nikmat Allah. Allah
berfirman: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." Mensyukuri nikmat Allah ialah
dengan ucapan setulus hati, kemudian diiringi dengan perbuatan, yaitu
menggunakan rahmat tersebut dengan cara dan untuk tujuan yang
diridlhai-Nya. Dengan pedoman penafsiran ini maka seseorang yang
beriman akan menggunakan sebaik-baiknya apa yang sudah diberikan Allah
kepadanya untuk menggapai apa yang belum di anugrahkan Allah
kepadanya. Termasuk jika ia perekonomiannya masih di bawah standar
maka ia akan berusaha sekuat tenaga untuk memerangi kemiskinan. Sesua
firman Allah: "Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri".

H. Kesimpulan

Iman tidak hanya berhenti pada pengakuan lisan dan hati, melainkan
diamalkan dengan perbuatan yang akhirnya akan melahirkan karakteristik
pribadi yang bermoral yang memiliki kualitas peribadatan tingkat
tinggi, dan memiliki mental semangat untuk perubahan memerangi
kebodohan dan kemiskinan, sehingga memunculkan jiwa kepemimpinan, dan
ujungnya dapat menjadi al-insan al-kamil atau dalam bahasa Muhammad
Iqbal yaitu Insan Cita. Pada akhirnya mu'min sejati dialah yang
mengetahui eksistensinya sebagai manusia. Dialah yang dijanjikan Allah
sebagai khalifah fil ardh.

Dengan ini maka terjawablah bahwa dugaan Marx tentang "Religion is
opium of the people" tidak berlaku untuk kalangan kita.
dupan nyata.

0 komentar:

Posting Komentar

Linkwithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Blog Archive