Assalamu'alaikum . . Wr. Wb. . Selamat Datang Di Ma’had Al-Furqon Muhammadiyah Cibiuk-Garut_Mohon Maaf Apabila Terdapat Kesalahan Wassalam . .

Sejarah Singkat Tentang Nabi Muhammad Saw

Posted by Ayub Cibiuk 18.10, under | No comments

Sebuah tangis bayi yang baru lahir terdengar dari sebuah rumah di kampung Bani Hasyim di Makkah pada 12
Rabi’ul Awwal 571 M. Bayi itu lahir dari rahim Aminah dan langsung dibopong seorang “bidan” yang bernama Syifa’, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf. “Bayimu laki-laki!”. Aminah tersenyum lega. Tetapi seketika ia teringat kepada mendiang suaminya, Abdullah bin Abdul Muthalib, yang telah meninggal enam bulan sebelumnya. Ya, bayi yang kemudian oleh kakeknya diberi nama Muhammad (Yang Terpuji) itu lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal di Yatsrib ketika beliau berusia tiga bulan dalam kandungan ibundanya.
Kelahiran yang yatim ini dituturkan dalam Al-Quran, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” — QS Adh-Dhuha (93): 6.
Aminah, janda beranak satu itu, hidup miskin. Suaminya hanya meninggalkan sebuah rumah dan seorang budak, Barakah Al-Habsyiyah (Ummu Aiman). Sementara sudah menjadi kebiasaan bangsawan Arab waktu itu, bayi yang dilahirkan disusukan kepada wanita lain. Khususnya kepada wanita dusun, supaya hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang baku.
Ada hadits yang mengatakan, kebakuan bahasa warga Arab yang dusun lebih terjaga. Menunggu jasa wanita yang menyusui, Aminah menyusui sendiri Muhammad kecil selama tiga hari. Lalu dilanjutkan oleh Tsuwaibah, budak Abu Lahab, paman Nabi Muhammad, yang langsung dimerdekakan karena menyampaikan kabar gembira atas kelahiran Nabi, sebagai ungkapan rasa senang Abu Lahab.
Air Susu yang Melimpah
Beberapa hari kemudian, datanglah kafilah dari dusun Bani Sa’ad, dusun yang jauh dari kota Makkah. Mereka menaiki unta dan keledai. Di antara mereka ada sepasang suami-istri, Harits bin Abdul Uzza dan Halimah As-Sa’diyah. Harits menaiki unta betina tua renta dan Halimah menaiki keledai yang kurus kering. Keduanya sudah memacu kendaraannya melaju, tetapi tetap saja tertinggal dari teman-temannya.
Halimah dan wanita lainnya yang datang ke Makkah sedang mencari kerja memberi jasa menyusui bayi bangsawan Arab yang kaya. Sebagaimana dalam kehidupan modern, baby sitter akan mendapatkan bayaran yang tinggi bila dapat mengasuh bayi dari keluarga kaya.
Sampai di kota Makkah, Halimah menjadi cemas, sebab beberapa wanita Bani Sa’ad yang tiba lebih dulu sedang ancang-ancang mudik karena sudah berhasil membawa bayi asuh mereka.
Setelah ia ke sana-kemari, akhirnya ada juga seorang ibu, yaitu Aminah, yang menawarkan bayinya untuk disusui. Namun ketika mengetahui keadaan ibu muda yang miskin itu, Halimah langsung menampik.
Dia dan suaminya berkeliling kota Makkah, tetapi tidak ada satu pun ibu yang menyerahkan bayinya kepadanya untuk disusui. Ya, bagaimana mereka percaya, seorang ibu kurus yang naik keledai kurus pula akan mengasuh dengan baik bayi mereka?
Hampir saja Halimah putus asa, ditambah lagi suaminya sudah mengajaknya pulang meski tidak membawa bayi asuh. Namun, ia berkata kepada suaminya, “Aku tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Alangkah baiknya kalau kita mau mengambil anak yatim itu sambil berniat menolong.”
“Baiklah, kita bawa saja anak yatim itu, semoga Allah memberkahi kehidupan kita,” ujar suaminya. Setelah ada kesepakatan tentang harga upah menyusui, Muhammad kecil diberikan kepada Halimah. Wanita kurus kering itu pun mencoba memberikan puting susunya kepada bayi mungil tersebut.
Subhanallah! Kantung susunya membesar, dan kemudian air susu mengalir deras, sehingga sang bayi mengisapnya hingga kenyang. Dia heran, selama ini susunya sendiri sering kurang untuk diberikan kepada bayi kandungnya sendiri, tetapi sekarang kok justru berlimpah, sehingga cukup untuk diberikan kepada bayi kandung dan bayi asuhnya?
Berbarengan dengan keanehan yang dialami Halimah, suaminya juga dibuat heran, tak habis pikir, mengapa unta betina tua renta itu pun tiba-tiba kantung susunya membesar, penuh air susu.
Halimah turun dari. keledainya, dan terus memerah susu itu. Dia dan suaminya sudah dalam keadaan lapar dan dahaga. Mereka meminumnya sehingga kenyang dan puas. Semua keajaiban itu membuat mereka yakin, “Anak yatim ini benar-benar membawa berkah yang tak terduga.”
Halimah menaiki dan memacu keledainya. Ajaib! Keledai itu berhasil menyalip kendaraan temannya yang mudik lebih dulu.
“Halimah! Halimah! Alangkah gesit keledaimu. Bagaimana ia mampu melewati gurun pasir dengan cepat sekali, sedangkan waktu berangkat ke Makkah ia amat lamban,” temannya berseru. Halimah sendiri bingung, dan tidak bisa memberikan jawaban kepada teman-temannya.
Sampai di rumah pun, anak-anaknya senang, sebab orangtua mereka pulang lebih awal dari orang sekampungnya. Apalagi kemudian ayah mereka membawa air susu cukup banyak, yang tiada lain air susu unta tua renta yang kurus kering itu.
Dalam sekejap, kehidupan rumah tangga Halimah berubah total. Dan itu menjadi buah bibir di kampungnya. Mereka melihat, keluarga yang tadinya miskin tersebut hidup penuh kedamaian, kegembiraan, dan serba kecukupan.
Domba-domba yang mereka pelihara menjadi gemuk dan semakin banyak air susunya, walaupun rumput di daerah mereka tetap gersang. Keajaiban lagi!
Peternakan domba milik Halimah berkembang pesat, sementara domba-domba milik tetangga mereka tetap saja kurus kering. Padahal rumput yang dimakan sama. Karena itulah, mereka menyuruh anak-anak menggembalakan domba-domba mereka di dekat domba-domba milik Halimah. Namun hasilnya tetap saja sama, domba para tetangga itu tetap kurus kering.
Pembelahan Dada
Muhammad kecil disusui Halimah sekitar dua tahun. Oleh Halimah, bayi itu dikembalikan kepada ibunya, Aminah. Namun ibunya mengharapkan agar Muhammad tetap ikut dirinya, sebab ia khawatir bayi yang sehat dan montok tersebut menjadi terganggu kesehatannya jika hidup di Makkah, yang kering dan kotor.
Maka Muhammad kecil pun dibawa kembali oleh Halimah ke dusun Bani Sa’ad. Bayi itu menjadi balita, dan telah mampu mengikuti saudara-saudaranya menggembala domba. Ingat, hampir semua nabi pernah menjadi penggembala. Muhammad saat itu sudah berusia empat tahun dan dapat berlari-lari lepas di padang rumput gurun pasir. la, bersama Abdullah, anak kandung Halimah, menggembala domba-domba mereka agak jauh dari rumah.
Di siang hari yang terik itu, tiba-tiba datanglah dua orang lelaki berpakaian putih. Mereka membawa Muhammad, yang sedang sendirian, ke tempat yang agak jauh dari tempat penggembalaan. Abdullah pada waktu itu sedang pulang, mengambil bekal untuk dimakan bersama-sama dengan Muhammad, di tempat menggembala, karena mereka lupa membawa bekal.
Ketika Abdullah kembali, Muhammad sudah tidak ada. Seketika itu juga ia menangis dan berteriak-teriak minta tolong sambil berlari pulang ke rumahnya. Halimah dan suaminya pun segera keluar dari rumahnya. Dengan tergopoh-gopoh mereka mencari Muhammad kesana-kemari. Beberapa saat kemudian, mereka mendapatinya sedang duduk termenung seorang diri di pinggir dusun tersebut.
Halimah langsung bertanya kepada Muhammad, “Mengapa engkau sampai berada di sini seorang diri?” Muhammad pun bercerita. “Mula-mula ada dua orang lelaki berpakaian serba putih datang mendekatiku. Salah seorang berkata kepada kawannya, ‘Inilah anaknya.’
Kawannya menyahut, `Ya, inilah dia!’ Sesudah itu, mereka membawaku ke sini. Di sini aku dibaringkan, dan salah seorang di antara mereka memegang tubuhku dengan kuatnya. Dadaku dibedahnya dengan pisau. Setelah itu, mereka mengambil suatu benda hitam dari dalam dadaku dan benda itu lalu dibuang. Aku tidak tahu apakah benda itu dan ke mana mereka membuangnya.
Setelah selesai, mereka pergi dengan segera. Aku pun tidak mengetahui ke mana mereka pergi, dan aku ditinggalkan di sini seorang diri.” Setelah kejadian itu, timbul kecemasan pada diri Halimah dan suaminya, kalau-kalau terjadi sesuatu terhadap si kecil Muhammad. Karena itulah, keduanya menyerahkan dia kembali kepada Ibunda Amina. Wallahu a’lam.












Salah satu doktrin utama dalam agama Islam adalah bahwa semua utusan Allah itu maksum. Artinya semua tindak langkah para Rasul itu steril dari kesalahan. Setiap apa yang disampaikannya pasti benar sebab peluang kesalahan telah ditutup rapat. Amaliah yang mereka lakukan hanya terbatas pada pekerjaan yang berhukum wajib dan sunat, tidak sampai pada ranah mubah, apalagi makruh dan haram.

Semua itu, sekali lagi, merupakan pemahaman-pemahaman aksiomatis dalam Islam dan benar adanya. Namun masalah yang muncul kemudian adalah, bahwa secara eksplisit dan implisit ternyata al-Quran menyebutkan jika Nabi Muhammad r beberapa kali melakukan ‘kesalahan’. Di antara kesalahan-kesalahan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, ketika Abdullah Bin Ubai Bin Salul, pentolan orang-orang munafik, meninggal, Rasulullah r menyalati dan mendoakannya. Oleh sebab itu lalu Allah I menegurnya: “Janganlah sekali-kali kamu menyalati (jenazah) seorang yang mati dari mereka (munafik), dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di atas kuburan mereka. Sesungguhnya mereka telah kafir pada Allah dan utusannya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS At-Taubah [09]: 84).

Kedua, Nabi Muhammad r pernah mengharamkan madu dan budak perempuannya untuk diri beliau sendiri yang notabenenya dihalalkan oleh Allah I. Karena itu Allah I menegur beliau dengan firman-Nya berikut: “Wahai Nabi (Muhammad), mengapa kamu mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah padamu. Kamu ingin menyenangkan hati istri-istrimu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS At-Tahrim [66]: 4).

Ketiga, Nabi Muhammad r memberi toleransi kepada orang-orang munafik untuk tidak mengikuti perang Tabuk, lalu Allah I menegur beliau melalui firman-Nya: “Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin (untuk tidak mengikuti perang Tabuk) sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar-benar uzur (berhalangan) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (QS At-Taubah [09]: 43).

Keempat, Nabi Muhammad r mendapat teguran dari Allah I atas kebijakan beliau mengambil tebusan dari para tawanan perang Badar. Allah I berfirman yang artinya: “Tidak pantas bagi seorang Nabi mempuyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuh-musuhnya di muka bumi. Kau menghendaki harta duniawi sedang Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu), dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Anfal [08]: 68).

Kelima, pada peristiwa perang Uhud Nabi Muhammad r mengalami luka-luka yang cukup parah, sedangkan orang-orang Islam banyak yang melarikan diri, sehingga beliau emosi dan berkata “Akankah selamat suatu kaum jika melakukan hal seperti ini pada nabinya?!” Lalu Allah I menegur beliau: “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka.” (QS Ali Imran [03]: 128)

Dari lima fakta yang dipaparkan dalam al-Qur’an di atas, tentu saja secara awam dapat dipahami jika Rasulullah r ternyata pernah melakukan sejumlah ‘kesalahan’. Dengan demikian di sini jelas terjadi kontradiksi antara sifat maksum yang harus ada pada setiap Rasul dan ‘kesalahan-kesalahan’ yang telah dipaparkan di atas. Lalu bagaimana kita memahami dan menaggapi kenyataan ini?


***


Rasulullah r juga manusia, jadi tidak bisa terlepas dari sifat-sifat yang manusiawi (al-A‘râdhul-Basyariyah). Beliau makan, minum, tidur, sakit, gembira, susah dan lain sebagainya. Sebagai manusia, beliau juga bisa ‘lupa’ dan ‘salah’. Kejadian-kejadian di atas merupakan refleksi dari al-a‘râdhul-basyariyah beliau. Namun kemudian timbul pertanyaan: apakah hal tersebut tidak bertolak belakang dengan sifat maksum yang dimiliki oleh Nabi Muhammad r? Jawabannya tentu “sama sekali tidak”. Bahkan sebaliknya, hal tersebut justru semakin mengukuhkan sifat kemaksuman beliau.

Kalau kita cermati kejadian-kejadian di atas secara spesifik, maka akan kita dapati bahwa setiap kali Rasulullah r melakukan ‘kesalahan’, pasti Allah I akan menegurnya. Hal tersebut sama sekali tidak merusak konsep maksum yang melekat pada beliau, namun justru semakin menguatkan pemahaman bahwa setiap apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad r pasti benar dan terbebas dari setiap bentuk kesalahan. Sebab setiap kali beliau melakukan ‘kesalahan’ pasti akan ada teguran langsung dari Allah I, sehingga beliau akan segera meralat ‘langkah salah’ tersebut.

Dari fakta-fakta empiris di atas dapat diambil kesimpulan bahwa konsep maksum yang ada pada diri para Rasul bukan berarti mereka tidak pernah salah. Akan tetapi ketika mereka melakukan kesalahan, maka akan datang teguran dan peringatan langsung dari Allah I dan mereka akan segera memperbaiki kesalahan tersebut. Sebuah rumah dikatakah bersih, bukan berarti rumah tersebut tidak pernah kotor. Tapi ketika ada kotoran maka segera dibersihkan.

Hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa dibalik ‘kesalahan-kesalahan’ yang diperbuat para Rasul terdapat banyak hikmah. Di antaranya, kesalahan tersebut merupakan bagian dari proses Tasryî‘ul-Ahkâm (pemberlakuan suatu hukum) dan dalam rangka memberi contoh berijtihad.

Juga perlu diingat, standard kesalahan pada diri para Rasul tidak sama dengan standard manusia pada umumnya. Suatu perbuatan yang dianggap wajar jika dilakukan manusia biasa, bisa jadi perbuatan tersebut salah jika dinisbatkan kepada para Rasul. Sebagai contoh peristiwa dalam perang uhud. Tentu sangat manusiawi jika seseorang emosi ketika mengalami hal sebagaimana dialami oleh Rasul tadi. Tapi karena yang melakukannya adalah seorang Nabi, maka hal tersebut dianggap suatu kesalahan. “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagimu.” (QS Al-Ahzab [33]: 21)

0 komentar:

Posting Komentar

Linkwithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Blog Archive